MALUKUnews: Inilah Sosok Guru Besar Ilmu Hukum UGM berdarah Maluku yang sedang jadi perbincangan publik saat menyimak penjelasannya di persidangan sengketa Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi, pada jumat, 21 Juni 2019, sebagai ahli yang ditunjuk Tim Hukum Jokowi-Amin.
Prof. Dr. Eddy OS Hiariej, SH, Mhum lahir di Ambon 10 April 1973 dengan nama Edward Omar Sharif Hiariej. Sarjana hukum (1998), Magister humaniora (2004) dan Doktor (2009) dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM). Dia menjadi dosen (1999) dan Guru Besar (Profesor) hukum pidana termuda (1 September 2010) di almamaternya (UGM), Yogyakarta.
Prof. Eddy meraih gelar tertinggi di bidang akademis tersebut pada usia 37 tahun, satu tahun lebih muda dibanding Prof Hikmahanto Juwana mendapat gelar profesor termuda dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) di usia 38 tahun. Bahkan saat diusulkan, usia Eddy masih 36 tahun.
Eddy mencetak rekor tercepat ketika menyelesaikan program doktoral selama 2 tahun 20 hari. Menurut catatan TokohIndonesia.com, rekor ini belum terpecahkan, setidaknya di UGM. Ia terdaftar sebagai mahasiswa doktor, 7 Februari 2007 dan meraih doktor 27 Februari 2009.
Jawaban Eddy saat ditanya bisa mencetak rekor tersebut: “Orang biasanya begitu sekolah doktor baru mulai riset, saya tidak. Saya sudah mengumpulkan bahan itu sejak saya short course, tiga bulan, di Strasbourg, Prancis, 2001. Jadi saya katakan kepada pembimbing saya, Prof. Sugeng Istanto, ‘Prof, saya sudah punya bahan untuk disertasi’
Prof. Sugeng Istanto pun menyetujui disertasi Eddy membahas soal penyimpangan asas legalitas dalam pelanggaran berat Hak Asasi Manusia (HAM). Lalu Eddy yang pernah menjadi Asisten Wakil Rektor Kemahasiswaan UGM (2002 – 2007), menyelesaikan draft disertasi pertamanya pada Maret 2008.
Kemudian, kurang dari setahun, Eddy pun sudah siap menghadapi ujian terbuka. Sayang, Prof. Sugeng Istanto meninggal pada Sabtu, 11 Oktober 2008, sehingga promotornya digantikan oleh Prof. Marsudi Triatmodjo dan co-promotor Prof. Harkristuti Harkrisnowo.
Memang, sejak remaja, Eddy sudah berminat berkecimpung dalam dunia hukum. Almarhum ayahnya pun pernah mengatakan bahwa karakteristik dan cara bicara Eddy, cocoknya jadi jaksa. Tapi ketika Eddy duduk di bangku SMA dan sudah berniat masuk fakultas hukum, ayahnya mengatakan agar Eddy kelak tak jadi pengacara, karena Sang Ayah menjelang akhir hayatnya, lebih menginginkannya jadi pengacara daripada jaksa supaya bisa membela orang daripada mendakwa.
Tapi keinginannya masuk Fakultas Hukum UGM tak segera bisa terpenuhi. Setamat SMA tahun 1992, Eddy langsung mengikuti Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Tapi, dia tidak lulus tes UMPTN tersebut. Eddy sangat kecewa, bahkan sempat stres selama enam bulan. Karena stres, dia liburan ke mana-mana. Kemudian, setelah enam bulan, mulai Desember 1992, dia memusatkan pikiran dan waktu untuk betul-betul intens belajar sampai UMPTN berikutnya. Sehingga, UMPTN 2013, Eddy pun diterima masuk FH UGM.
Eddy pun mengikuti perkuliahan dengan tekun, sehingga mendapat perhatian Dekan FH UGM Prof. Maria Soemardjono ketika itu. Saat semester lima, Prof. Maria mengatakan pertama kali agar Eddy menjadi dosen. Eddy merasakan hubungannya dengan Prof. Maria sangat dekat. Saking dekatnya, hingga orang mengatakan kalau Eddy adalah anak keempat Prof. Maria. Bagi Eddy, Prof. Maria memang pakar hukum yang menjadi panutannya.
Satu ketika Prof. Maria bertanya kepada Eddy: “Kamu selesai kuliah mau ke mana?” Saat itu, Eddy menjawab belum tahu akan ke mana. Lalu, Prof. Maria kembali menyarankan agar Eddy menjadi dosen di almamaternya. Saat itu Eddy sudah berpengalaman menjadi pengajar di salah satu bimbingan belajar di Yogyakarta.
Maka seusai wisuda program sarjana 19 November 1998, Eddy mengikuti tes penerimaan dosen. Hasil tes diumumkan 6 Desember 1998 dan dia diterima, dan langsung aktif mengajar sebagai asisten sampai SK pengangkatan jadi dosen terbit 1 Maret 1999.
Eddy tidak jadi berprofesi pengacara atau jaksa. Eddy pun merasakan lebih senang menjadi dosen, karena dia dapat banyak berinteraksi dengan orang, dan karena mau tidak mau sebagai dosen dia harus terus belajar dan belajar. Serta, dia juga senang karena bisa bebas dari aturan seragam layaknya jaksa. Lebih lagi merasa senang jadi dosen, karena, “katanya sih tujuh golongan yang masuk surga itu salah satunya adalah golongan yang selalu memberikan ilmunya kepada orang lain,” ujar Eddy yang hobi membaca dan menulis, serta olahraga tenis dan renang, itu seraya tersenyum.
Sebagai dosen, dia aktif dalam bidang penelitian. Dia banyak melakukan riset, antara lain, meneliti implikasi reposisi TNI – Polri dalam Bidang Hukum (2000); Penelitian Rekrutmen dan Karir di Bidang Peradilan (2002); Riset Unggulan Terpadu mengenai Regulasi Dunia Maya: Pengaturan Perdagangan, Pembinaan Dan Pelembagaan Serta Penanggulangan Kejahatan Di Bidang Teknologi Infomrasi (2003); Penanggulangan Illegal Logging di Kalimantan Barat (2004); Kajian mengenai pengaturan mata uang (2005); Kajian mengenai pengembalian aset kejahatan (2008).
Eddy sudah menulis lebih dari 200 karya tulis ilmiah dan artikel yang dimuat dalam majalah ilimiah dan berbagai media cetak. Dia juga telah menulis beberapa buku, antara lain: Curah Gagas Dari Bulaksumur: Meluruskan Jalan Reformasi, 2003; Rekomendasi Untuk Presiden, 2004; Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, 2006; Pengembalian Aset Kejahatan, 2008; Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana, 2009; Pengantar Hukum Pidana Internasional, 2009; Pengadilan atas Beberapa Kejahatan Serius Terhadap HAM, 2010; dan Teori dan Hukum Pembuktian, 2012. (***)
Discussion about this post