TOMORALA: SEBUT saja namanya La Mane. Ia adalah seorang pejabat di satu kantor di Bau-Bau. Saya tidak hendak membahas pekerjaannya. Saya senang dengan namanya yang unik dan khas Buton. Dulu, di zaman ketika bapak saya masih hidup, banyak warga Buton yang namanya berawalan La atau Wa seperti La Mane.
Kini, nama itu mulai pudar. Banyak warga yang sudah tidak mau lagi mengenakan nama berawalan La atau Wa. Apa alasannya? “Ah,.. nama itu kesannya kampungan. Kayak orang desa saja,” kata seorang teman ketika saya tanyai.
Saat ini, pemilik nama berawalan La atau Wa masih bisa ditemukan pada generasi yang berusia 50 tahun ke atas. Jika berkunjung ke sejumlah desa-desa di Buton-Muna, masih banyak pula ditemukan nama demikian. Aneh juga, mengapa generasi bapak saya mulai menanggalkan kata La dan Wa buat anak-anaknya.
Padahal, kata itu memiliki makna dan sejarah yang panjang. Tidak sekedar membedakan jenis kelamin lelaki yang menggunakan kata La, dan jenis kelamin perempuan yang menggunakan kata Wa. La dan Wa bukan sekadar penanda identitas. Namun maknanya jauh lebih dalam.
Kata bapak saya, panggilan itu bisa dilacak sejak masuknya Islam. Bangsa Buton memiliki banyak pandangan filosofis yang digali dari ajaran tasawuf. Dalam pandangan tasawuf, titik tertinggi yang mesti digapai manusia adalah Allah SWT.
Selanjutnya titik kesempurnaan berikutnya adalah Muhammad SAW. Allah dan Muhammad dipandang sebagai sesuatu yang berpasangan sebagaimana hubungan ayah dan ibu, atau hubungan antara lelaki dan perempuan. Allah adalah puncak kesempurnaan. Demi menyampaikan perintah di muka bumi, maka Muhammad mengemban tugas mulia untuk menjadi kesempurnaan yang mengaktual.
Kata La diambil dari kalimat tauhid “Laa Ilaa Ha Illallah.” Sedangkan kata Wa diambil dari kalimat “Wa asyhadu anna muhammadarrasulullah.” Posisi Allah dan Muhammad ibarat dua keping yang saling melengkapi. Dalam khasanah tasawuf di Buton, Allah ibarat ayah, dan Muhammad ibarat ibu yang mengasihi. Makanya, lahirlah panggilan La dan Wa bagi lelaki dan perempuan. Panggilan ini jelas bersumber dari ajaran tasawuf yang dahulu amat marak di Kesultanan Buton.
Kini, modernisasi mulai menggilas semuanya. Orang-orang Buton mulai malu jika masih mengenakan panggilan itu. Sudah amat jarang saya menemukan nama itu melekat pada nama lengkap seseorang.
Orang Buton mulai merasa panggilan itu amat tradisional sehingga tidak tepat lagi untuk dikenakan. Kini, mereka mulai mengadapasi nama-nama keren yang dulunya cuma ada di sinetron. Mungkin ini adalah konsekuensi kemajuan. Tapi amat disayangkan jika kemajuan itu menyebabkan kita kehilangan ciri dan identitas. ( Sumber: timur-angin.com)
Discussion about this post